Disiplin Anak dengan 3R
Tiru Disiplin Perancis dan Jepang, Sadari Sejak Dini
SEBAGAI orangtua, Anda akan mengajarkan lebih banyak hal pada anak. Mulai dari soal perilaku yang baik, pilihan gaya hidup yang sehat, hingga penerapan nilai-nilai, kedisiplinan, maupun kemandirian. Semua demi mempersiapkan anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang matang. Sehingga kelak ia akan mampu menjalani kehidupannya dengan baik, termasuk ketika ia harus mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya kelak.
Minggu (24/11) kemarin, dalam seminar positive parenting dan pembekalan pranikah, dra Nana Maznah Prasetyo, M.Si menerangkan apa saja yang perlu dipersiapkan oleh para calon orangtua. Kegiatan yang diadakan di Masjid Al-Mubarok, Jl Mayjen Sutoyo RT 40, Balikpapan, Markoni atas ini diisi oleh perempuan-perempuan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan masyarakat Balikpapan. Psikolog asal Jakarta ini mengatakan, sebagian besar orangtua masih menganggap disiplin perlu menggunakan prinsip hukuman fisik.
“Saya tidak dapat menyalahkan para orangtua. Saat ini mereka belum menyadari saja,” tutur pendiri dan pengelola Smart Achievement Toward the Ultimate (S.A.T.U) Consulting, Jakarta ini.
Dengan adanya prinsip tersebut, tambahnya, anak dapat menjadi bom waktu. Karena memiliki rasa dendam akibat hukuman fisik yang diterima. Kebanyakan juga mengalami trauma dan menjadi penyendiri, tertutup, karena rasa takut terhadap orangtuanya sendiri.
“Hukuman fisik mungkin dapat membuat anak patuh, namun pada akhirnya anak hanya takut dihukum dan terkadang tetap berperilaku kurang baik. Prinsip tersebut tidak bisa terus dilakukan. Anak akan cenderung melawan. Apalagi jika orangtuanya memaki dan merendahkannya,” tambah perempuan kelahiran Singapura tersebut.
Perempuan berjilbab ini juga membandingkan pendidikan disiplin Indonesia dengan Prancis dan Jepang. Jika di Prancis anak-anak tidak selalu mendapatkan apa yang mereka minta, terutama jika itu terkait dengan jajanan. Sedang pendidikan disiplin di Jepang, anak-anak dibiasakan mengerjakan hal yang paling kecil.
“Contoh di sekolah Jepang, para anak membersihkan WC. Maka otomatis mereka akan melakukan pekerjaan yang sama di rumah,” ungkap Nana. Ia menganjurkan agar para orangtua tidak bersikap kasar. “Hindari penggunaan emosi dan pahami makna dibalik perilaku anak Anda,” tegasnya.
Orangtua, kata Nana, diposisikan sebagai gerbang, di mana si anak akan memilih jalannya sendiri setelah sampai pada bibir gerbang. Di sinilah, orangtua berperan mendorong anak ke arah yang benar. “Pola asuh menjadi latar belakang disiplin anak,” katanya. Disiplin yang dimaksud yaitu, kepatuhan menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tercermin dalam perilakunya. Dengan melatih mentalnya, anak memiliki sikap taat aturan untuk diri sendiri ataupun dengan aturan lain, tanpa harus menggunakan emosi.
“Orangtua tidak boleh egois, dengan menunjukkan kemarahan mereka serta mengumpat. Ini hanya menjadi contoh negatif,” tuturnya. Kunci keberhasilan orangtua dalam melakukan disiplin positif, tambahnya, adalah orangtua perlu belajar mengelola dan mengendalikan emosi dengan tepat.
“Bangun suasana yang hangat, ini merupakan point penting. Karena tanpa sentuhan emosional, maka dendrit-dendrit di sel otak tidak meningkat,” jelasnya.
Penerapan disiplin positif, tidak hanya mengatasi masalah tingkah laku. Tapi juga dapat membantu anak mengembangkan rasa percaya diri, kedisiplinan diri, tanggung jawab, harga diri dan berbagai keterampilan hidup.
“Anak memang memerlukan pembelajaran disiplin sejak dini sehingga mereka dapat berkembang dengan benar,” ungkap perempuan lulusan Universitas Padjajaran, Bandung.
Nana menganjurkan untuk menggunakan prinsip 3R untuk menegakkan disiplin pada anak. Yaitu, respect, rules dan reward. Dalam hal respect, orangtua merupakan figure otoritas. Namun dalam penerapan disiplin, orangtua harus menghargai anak. Bukan hanya menuntut atau mengharuskan anak menuruti perintah. Kemudian rules, penerapan aturan pada anak harus bersifat jelas spesifik atau konkrit.
Dengan memberikan contoh tingkah laku atau tugas yang dapat dilakukan anak setiap harinya. Misal berlatih membuat kalimat positif. Sehingga tidak mengeluarkan kata-kata berupa makian saat sedang marah pada anak. Dan yang terakhir, reward.
Dukungan yang diperlukan setiap anak saat melakukan tindakan positif. Berikan penghargaan ketika anak melakukan tindakan yang positif, serta membantu mencari solusi ketika sang anak sedang mengalami kesulitan. “Jika tidak dimulai dari diri sendiri hal tersebut dapat menjadi masalah bagi kehidupan mereka ke depan,” tutupnya. (*/yin/rsk2/k1)
Sumber: kaltimpost.co.id