Ketidakberfungsian Keluarga

Angka perceraian yang tinggi beberapa tahun terakhir menjadi ancaman yang cukup serius bagi keluarga Indonesia. Banyak yang mempertahankan pernikahan dengan alasan ekonomi. Meningkatnya kesadaran pada perempuan memungkinkan mereka untuk dapat memperoleh nafkah secara mandiri, sehingga pada kasus-kasus tertentu menyebabkan sebagian besar dari para perempuan berani mengambil keputusan untuk bercerai.

Memang terdapat beberapa alasan selain alasan ekonomi yang mendasari keinginan untuk bercerai. Namun yang paling penting dan jarang disadari adalah ketimpangan peran dan fungsi masing-masing dalam keluarga itu sendiri, yaitu peran dan fungsi suami/istri dalam keluarga menjadi tidak spesifik dan tidak sesuai dengan fungsinya. Dalam beberapa permasalahan bahkan tidak jarang terjadi pertukaran peran dan fungsi.

Apa yang dimaksud dengan keluarga yang tidak berfungsi? Keluarga yang tidak berfungsi adalah sebuah keluarga yang tidak maksimal atau tidak dapat menempatkan sesuatu sesuai peran dan fungsinya, atau bahkan gagal dalam menjalankan peran dan fungsi serta tanggung jawab masing masing keluarga tersebut, baik sesuai dengan perintah dan larangan Allah, maupun sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku layaknya hubungan pada suami dan istri dalam rumah tangga.

Untuk dapat lebih memperdalam permasalahan mengenai peran dan fungsi dalam keluarga maka diperlukan langkah nyata dan usaha khusus untuk menempatkan peran dan fungsi suami/istri kembali sesuai dengan fitrohnya, dengan harapan agar dapat menyelamatkan keluarga Indonesia untuk tidak menjadi suatu kebiasaan (kebablasan), dan dapat mengembalikan kehidupan keluarga menjadi berfungsi sesuai dengan fitrahnya.

Terdapat beberapa bentuk aturan dalam keluarga yang menyebabkan menjadi kehilangan fungsi sebenarnya (tidak berfungsi):

• Terdapat pihak yang “memegang kendali/kontrol” pada seluruh interaksi dalam keluarga tersebut saat berelasi dengan orang lain maupun anggota keluarga lainnya. Kendali atapun kontrol tersebut mengendalikan pikiran dan perasaan anggota keluarga lainnya yang akan berdampak pada hilangnya spontanitas dalam keluarga untuk dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya (berpendapat).

• Dalam mengerjakan atau melakukan tugas seluruh anggota keluarga harus selalu “sempurna/perfeksionis”. Selalu harus ada yang lebih baik atau lebih bagus dari yang lainnya. Rasa takut dan menghindari diri dari membuat satu kesalahan merupakan prinsip hidup dari sebuah keluarga perfeksionis. Anggota keluarga yang termasuk dalam bentuk diatas hidup bergantung pada pandangan orang lain (eksternal imej). Misalnya: “Aku udah terlihat oke gak sich?” atau “Aku bener gak tadi kasih opininya?”. Membandingkan diri dengan norma-norma diluar sebagai cara untuk mengukur kemampuan dirinya.

• Salah satu Cara untuk mempertahankan diri dalam keluarga disfungsi adalah dengan “menyalahkan”. Menyalahkan merupakan satu kebiasaan yang dipergunakan untuk mendapatkan/memegang kembali kendali yang sudah tidak didapatkan lagi, namun hal tersebut hanyalah dalam bentuk ilusi. Jika merasa dirinya dalam situasi yang rapuh dan terekspos, maka salah satu cara “mempermalukan orang lain” adalah dengan cara menyalahkan.

• Aturan ini menindak lanjuti aturan sempurna/perfeksionis. “Kamu tidak seharusnya berpikir, merasakan, menginginkan, membayangkan, melihat atau mendengar sesuatu dengan caramu. Kamu harus berpikir, merasakan, menginginkan, membayangkan, melihat atau mendengar sesuatu dengan cara seperti yang diperintahkan oleh seorang perfeksionis”

• Jangan menceritakan tentang perasaan2, pikiran2 atau pengalaman apa saja yang fokusnya pada permasalahan keluarga yang sedang mengalami tekanan (distress).

• Anggota keluarga hidup dengan pertahanan diri/defensive, sehingga apabila anggota lain sedang berbicara maka seakan tidak terdapat pihak/orang lain yang berada disekitarnya.

• Segala macam interaksi (apapun bentuknya) yang terjadi di dalam keluarga disfungsi tidak dapat pernah tuntas. Keluarga tersebut akan tetap meributkan dan tidak menyetujui hal yang sama selama bertahun-tahun tidak pernah terdapat suatu penyelesaian yang tuntas. Keluarga menjadi hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu KONFLIK atau MENYETUJUI. Hal tersebut juga tidak disertai dengan terjadinya kontak/komunikasi yang normal, sehingga menyebabkan anggota keluarga biasanya lebih sering menggerutu, kecewa dan bingung.

• Jangan pernah mengharapkan sesuatu didalam relationship. JANGAN PERCAYA ORANG LAIN, maka tidak akan pernah dikecewakan. Dalam keluarga disfungsi biasanya orang tua tidak pernah terpenuhi kebutuhannya dalam sebagian dari tugas perkembangannya pada saat kanak2, oleh karena itu mengakibatkan mereka menutupinya dengan cara kedekatan yang sifatnya ilusi. Dalam bentuk independent/mandiri yang sesungguhnya adalah kebalikannya yaitu sebenarnya membutuhkan dan ketergantungan secara emosional menjadi sesuatu hal yang “tidak nyambung” dan atau “tidak lengkap”. Oleh karena tidak ada yang terpenuhi kebutuhannya sesuai dengan yang seharusnya.
Peran-peran yang sering dilakukan oleh keluarga yang tidak berfungsi

• The ”Dependent” – Bergantung pada orang lain. yaitu adalah anggota keluarga yang memiliki masalah yang cukup serius sehingga mempengaruhi anggota keluarga yang lain.

• The”Enabler”, yang terbiasa untuk memfasilitasi pada sistem yang disfungsi ini menjadi terpelihara. Cenderung melindungi orang yang bermasalah

• The ”Hero”, Menjadi sang pahlawan/hero peran ini seringkali dimainkan oleh anak yang paling sulung atau anak yang paling pintar. Ia berusaha bekerja keras supaya ia berhasil dan berprestasi.

• The ”Little Prince/Princess”, Menjadi anak/putri kesayangan. Menjadi anak favorit bagi salah satu orang tuanya.

• The ”Doer”, si pekerja keras. Yaitu seorang pekerja keras untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Ia cenderung memikul dan mengambil alih tanggung jawab yang terlalu berat baginya dan ia merasa bersalah dan merasa bahwa usahanya tidak cukup.

• The ”Scapegoat” si kambing hitam. Sering sekali anak kedua dalam keluarga yang disfungsi memainkan peran ini. Supaya orang tidak merasa bersalah akibat kondisi keluarganya. Anak ini seolah-olah menjadi penyebab keluarganya menjadi disfungsi.

• The ”Lost Child” (anak yang terabaikan). Anak tersebut cenderung menjadi pemalu dan mengisolasi dirinya. Ia merasa seperti orang asing dalam kehidupan berkeluarga, terabaikan oleh orang tua dan saudara-saudaranya

• The ”Mascot”. Sering kali anak bungsu dalam keluarga tidak berfungsi memainkan peran ini. Ia mencari perhatian semua anggota keluarga,dan berusaha untuk menghibur meraka dengan humor dan joke-jokenya .

Akibat fatal yang dapat terjadi adalah lama-kelamaan mereka menikmati peran yang sebenarnya adalah salah satu disfungsi dalam keluarga, yang kemudian meluas ke berbagai aspek dalam kehidupan orang tersebut. Misalnya si pekerja keras, yang ketika keluar rumah pun kemudian bersikap sebagai pekerja keras.

Selain peran tersebut diatas, keluarga yang disfungsi juga akan memiliki sistem yang tidak sehat, yang biasanya ditandai dengan terdapatnya aturan-aturan tertentu yang kaku dan cenderung manipulatif. Aturan ini belum tentu dirumuskan secara formal maupun tertulis dalam keluarga, namun pada kenyataannya menjadi suatu panduan dalam mengambil keputusan atau tingkah laku dalam keluarga dan masyarakat.

Apabila dalam suatu keluarga melaksanakan fungsi–fungsi seperti yang telah diuraikan diatas, maka keluarga tersebut mengalami stagnasi (kemandegan) atau disfungsi yang pada akhirnya akan dapat merusak kekokohan keluarga tersebut, khususnya pada perkembangan kepribadian anak.
Sebagai sebuah sistem, keluarga menjadi terpecah, salah satu atau lebih anggota keluarga tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga, hingga hal tersebut yang menyebabkan terjadinya keluarga yang disfungsi. Disamping itu tentu juga akan mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi dapat diartikan sebagai tidak dapat berfungsiya sesuatu hal dengan normal sebagaimana mestinya.