Memberdayakan Perempuan, Tidak untuk Menyaingi Laki-laki

Jika Anda orang Bukit Tinggi, Sumatera Barat, atau pernah tinggal di kota ini, atau setidak-tidaknya pernah datang ke kota bukik nan tatinggi ini, tentu tahu Masjid Usang yang umurnya sudah ratusan tahun yang terletak di Nagari Pasir IV Angkat Agam Sumbar. Masjid yang konon berdiri sejak 250 tahun silam ini dibangun oleh seorang ulama besar kakek buyut dari Ibu Dra. Hj. Nana Maznah Zubir, M.Si.

IBU Nana Pras, demikian ibu kita ini biasa dipanggil, adalah salah satu pendiri sebuah lembaga bantuan psikologi dan mediasi SATU Consulting yang sampai sekarang dapat berjalan dengan baik dan lancar. Selain memberikan bantuan di SATU Consulting, pengisi acara di Radio Samhan Jatinangor ini juga bergiat diri di bidang konseling, seminar, training (pengembangan SDM, Keluarga termasuk penggagas Parenting dan Pendidikan Anak Usia Dini), saat ini berkembang sebagai mediator masalah relationship/perkawinan/keluarga, sebagai konselor umum juga recovering addict, motivational fasilitator, family terapist, dan salah satu trainer dari P.E.T (Parent Efectiveness Training) dan juga sebagai fasilitator yang tergabung dalam Asosiasi Living Values Education (LVE) Indonesia yang telah resmi terakreditasi sebagai fasilitator Internasional (LVE).

Nana Maznah Zubir yang menikah dengan Ir. Prasetyo Sunaryo, MT pada tahun 1978, dikaruniai empat orang anak, dua perempuan dan dua laki-laki. Tiga orang sudah sudah selesai sekolah dan satu anak masih duduk di bangku kuliah.

Seperti halnya Nana kecil yang diasuh orang tua dengan pola ‘tough love’, dimana pola asuh tegas dan keras serta disiplin yang didasari oleh kecintaan kepada anak demi kemandirian masa depan, Bu Nana mendidik putra-putrinya pun dengan cara demikian.

“Ada sedikit perbedaan dengan pola pengasuhan yang saya terima dari orangtua dan yang saya lakukan pada anak. Kalau dulu saya tidak berani mengungkapkan pendapat saya, namun dengan berubahnya era, kepada anak-anak, saya memberi kesempatan mereka untuk berpendapat serta berkomunikasi secara baik dan positif,” paparnya.

Ada nilai utama yang Nana tekankan pada diri anak tentang “respek” untuk menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain. Bicara baik, tidak saling meremehkan dan merendahkan satu sama lain. “Mudah-mudahan ini bisa tertanam kuat pada diri anak-anak saya, sehingga nilai-nilai lainpun seperti 6 tabiat luhur akan tumbuh seperti lokomotif,” jelas Nana.

Hanya kekurangannya, kata alumnus Magister Psikologi UNIVERSITAS TARUMANAGARA ini, ia tidak pernah mengajarkan pada anak perempuannya untuk bisa memasak, membuat kue, atau berdandan. Ia berpikir, bahwa keahlian tersebut akan datang sendiri sesuai dengan minatnya. “Seperti anak saya yang bungsu (pria) belajar masak sendiri melalui program TV dan internet,” katanya.

Ada aktivitas menarik yang dilakukan Nana Maznah di dalam keluarga, yaitu ‘family rituals’, suatu kegiatan untuk mempererat hubungan batin (family bonding) antara sesama anggota keluarga (connection ritual). “Saya menganggap ini aktivitas yang sangat penting, karena bapaknya anak-anak sering tidak ada di rumah, sejak mereka kecil karena pekerjaannya dan aktivitas diluar pekerjaan menuntut demikian.

Nah, ketika kesempatan bapaknya di rumah, agar anak-anak tetap merasakan kehadiran utuh kedua orangtuanya dan merasa “terhubung” dengan sesama keluarga satu dengan yang lainnya, kami melakukan family meeting, ke toko buku bersama keluarga, atau beli CD musik, atau sekedar bercakap-cakap dan diskusi di kamar bersama anak dan cucu,” paparnya.

Aktif di berbagai kegiatan, Nana Maznah memimpikan untuk bisa memberdayakan kaum perempuan agar dapat menggunakan semua kekuatan atau potensi diri dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup mereka dalam keluarga, serta menjadi pribadi yang mantap, menjadi bagian dari keluarga yang berarti serta memiliki aktifitas sosial yang bermakna bagi keluarga dan banyak orang.

Seperti RA Kartini yang ingin memberdayakan kaum perempuan, Nana Maznah juga berharap dapat memberikan pengajaran dan pendidikan pada anak perempuan. “Ini bukan karena menginginkan kaum perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tetapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Bila seorang ibu mau memahami, melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dalam mendidik dan mengarahkan anak dengan baik (dengan keteladanannya), serta mengelola rumah tangga dengan baik, insya Allah akan terlahirlah generasi yang saleh, unggul dan mumpuni, mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kehidupannya kelak. Untuk itu saya berjuang membangun “kaumku” agar dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrohmah bagi keluarga masa kini dan masa depan.

Ada seorang tokoh perempuan yang saya kagumi, lanjut Nana, yaitu Hasri Ainun Habibie (alm). Seperti dalam film yang baru-baru ini diputar tentang Ainun-Habibie, begitulah kira-kira profil beliau. Seorang tokoh penting di balik kesuksesan Bapak Habibie, seorang pribadi sederhana dan santun pada suaminya, rela meninggalkan profesinya sebagai dokter untuk mengikuti suaminya menyelesaikan pendidikannya di Jerman. Memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap beberapa yayasan membantu anak-anak yang putus sekolah agar bisa melanjutkan sekolah lagi. Pada pemberdayaan perempuan agar bisa menyelesaikan masalah-masalah hidupnya sendiri.

“Pernah saya ngobrol dari ke hati dengan beliau. Ada satu pesan yang selalu saya ingat: Nana, ketika kamu aktif di dharma wanita, kan anak ditinggal sama pembantu. Jangan lupa kamu didik pembantumu tentang cara mengasuh anak. Karena ketika mereka berumah tangga dan mengasuh anak kelak, akan menerapkan hal yang sama yang telah diperolehnya ketika ikut kamu. Itu juga ganjaran buat dirimu.” //**

Sumber: NuansaOnline.Net