Mendisiplinkan Anak Tanpa Hukuman

Pola pengasuhan orang tua memiliki pengaruh penting pada anak, mulai dari perilaku yang baik, gaya hidup sehat, kedisiplinan, kemandirian, hingga penerapan nilai-nilai kehidupan lainnya.

Anak yang mandiri, disiplin, dan tumbuh menjadi pribadi yang matang adalah dambaan setiap orangtua. Dengan demikian anak akan mampu menjalani kehidupannya dengan baik, termasuk ketika ia harus mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya kelak.

Persoalannya, bagaimana mencetak anak-anak yang seperti itu? DPD LDII bekerjasama dengan DPW LDII Kaltim dan DPD LDII Balikpapan menghelat seminar positive parenting dan pembekalan pranikah oleh Dra Nana Maznah MSi, seorang psikolog yang juga pengurus DPP LDII, pada Minggu, (24/11/2013), di Masjid al Mubarok Kapling, Jl. Mayjen Sutoyo RT 40 Markoni Atas Balikpapan. Kegiatan ini diikuti oleh ibu-ibu Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan masyarakat Balikpapan.

Seminar ini menjadi penting mengingat sebagian besar orang tua menganggap penerapan disiplin pada anak itu perlu menggunakan prinsip hukuman fisik. “Saya tidak menyalahkan para orang tua. Saat ini mereka belum menyadari saja,” tutur pendiri dan pengelola Smart Achievement Toward the Ultimate (S.A.T.U) Consulting Jakarta ini.

Dengan adanya hukuman fisik yang terus menerus akan menjadikan bom waktu bagi anak. Anak akan memiliki rasa dendam akibat hukuman fisik yang diterima sejak kecil. Anak mengalami trauma dan menjadi penyendiri, tertutup, karena rasa takut yang besar terhadap orang tuanya sendiri.

“Hukuman fisik mungkin dapat membuat anak patuh, namun pada akhirnya anak hanya takut dihukum dan terkadang tetap berperilaku kurang baik,” ujarnya. “Prinsip tersebut tidak bisa terus dilakukan. Anak akan cenderung melawan. Apalagi jika orangtuanya memaki dan merendahkannya,” tambah wanita kelahiran Singapura ini.

Ibu berjilbab ini juga membandingkan pendidikan disiplin Indonesia dengan Prancis dan Jepang. Di Prancis, anak-anak tidak selalu mendapatkan apa yang mereka minta, terutama terkait jajanan. Sedangkan pendidikan disiplin Jepang, anak-anak dibiasakan mengerjakan hal-hal dasar. “Contoh di sekolah Jepang, anak-anak diberi tugas membersihkan WC. Jika dibiasakan, otomatis anak akan melakukan pekerjaan yang sama di rumah,” jelasnya.

Ia juga menganjurkan agar para orangtua tidak bersikap kasar pada anak. “Hindari sikap emosional dan pahami makna di balik perilaku anak Anda,” tegas Nana. Menurutnya, orang tua hendaknya memposisikan dirinya sebagai gerbang. Anak akan memilih jalannya sendiri setelah sampai disisi gerbang. Di gerbang inilah orangtua berperan mendorong anak ke arah yang benar. “Pola asuh menjadi latar belakang disiplin anak,” katanya.

Disiplin yang dimaksud yaitu kepatuhan pada aturan dan ketentuan yang tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Dengan melatih mentalnya, anak akan terbiasa memiliki sikap taat aturan, baik untuk diri sendiri ataupun dengan orang lain. “Orang tua tidak boleh egois, dengan menunjukkan kemarahan mereka serta mengumpat. Ini hanya menjadi contoh negatif,” tuturnya.

Sumber: ldii.or.id